ASTARANEWS.COM, Palembang – Berbagai organisasi masyarakat sipil di Sumatera Selatan, termasuk WALHI Sumsel, ROTAN, MASOPALA UNSRI, Himpala Dharmapala Chakti, Solidaritas Perempuan Palembang, Women Crisis Center Palembang, HIMASYLVA UMP, BEM FE UNSRI, BEM FISIP UNSRI, Benah Palembang, Green Heroes Sriwijaya, Suara Mentari, dan Rumah Relawan Peduli, memperingati Hari Bumi untuk menyuarakan perlawanan atas darurat ekologis yang semakin nyata. Rangkaian kegiatan ini mencakup pawai longmarch bola bumi, pasar gratis, pembagian bibit pohon, serta pickup sampah.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman SH, melalui Kadiv Kampanye WALHI Sumsel, Febrian Putra Sopah, dalam keterangan tertulisnya menjelaskan bahwa aksi ini menandai akumulasi dari bencana ekologis yang bukan lagi sekadar peristiwa alam. Sebaliknya, bencana ini adalah hasil langsung dari kebijakan yang timpang dan perampasan ruang hidup oleh korporasi tambang, sawit, dan hutan tanaman industri.
Dampak Krisis Ekologis di Sumatera Selatan
WALHI Sumsel mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, Sumatera Selatan menghadapi 154 kejadian banjir di 14 kabupaten/kota. Bencana ini berdampak pada lebih dari 365 ribu jiwa, dengan 91 ribu rumah terendam dan kerusakan infrastruktur publik. “Di musim kemarau, 11.786 titik api mencuat, sebagian besar di lahan gambut yang telah rusak akibat pengeringan oleh perusahaan. Di sisi lain, pencemaran air, udara, dan tanah merata di berbagai wilayah, mengancam sumber kehidupan rakyat dari hulu ke hilir,” ungkap Febri.
Namun, semua ini hanyalah gejala dari krisis struktural yang lebih dalam: ketimpangan penguasaan lahan di Sumatera Selatan. Febri menjelaskan bahwa dari total 8,3 juta hektar daratan di Sumsel, sebanyak 3,3 juta hektar dikuasai oleh korporasi tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan HTI. “Penguasaan ini berlangsung melalui izin-izin skala besar, namun mengabaikan hak dan keselamatan rakyat,” tegasnya. Ia juga menambahkan bahwa ketimpangan ini menghilangkan hutan, kawasan resapan, rawa-rawa, dan tanah pertanian rakyat—semuanya digantikan dengan pertambangan terbuka, monokultur sawit, dan tanaman industri.
Seruan dan Desakan untuk Keadilan Ekologis
Dalam keterangannya, Febri menggambarkan bahwa, “Ketika air tak lagi terserap tanah, ketika sungai mengalirkan limbah tambang, dan ketika udara penuh debu batubara, maka yang terjadi adalah banjir, kebakaran, pencemaran, dan kehilangan sumber penghidupan.” Rakyat, tegas Febri, kehilangan ruang hidup, sementara korporasi memperoleh legitimasi untuk memperluas eksploitasi. Bahkan, ia menyebutkan bahwa “revisi tata ruang ini tidak hanya cacat secara ekologis, tetapi juga cacat secara keadilan.”
Masih dalam keterangan Kadiv Kampanye WALHI Sumsel itu, dampak dari ketimpangan ruang ini dirasakan oleh semua pihak. Ia memberi contoh warga kota Palembang yang setiap tahun kebanjiran karena RTH dan rawa diganti beton dan perumahan elit, hingga warga desa di Provinsi Sumatera Selatan yang sumurnya tercemar limbah dan hutannya dilenyapkan. “Sungai tercemar, sawah rusak, udara penuh asap dan debu. Di tengah situasi ini, warga justru dikriminalisasi ketika membela ruang hidupnya, sementara korporasi bebas beroperasi dengan impunitas,” kata Febri merincikan.
Tuntutan Mendesak WALHI dan Mitra
Dalam Hari Bumi 2025 ini, kami mendesak: Hentikan ekspansi industri ekstraktif di Sumatera Selatan, khususnya tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI). Kemudian, cabut izin-izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan dan mencemari ruang hidup rakyat. Selain itu, laksanakan pemulihan ekologis dan sosial secara menyeluruh di wilayah terdampak krisis ekologis, dengan memastikan keterlibatan masyarakat. Lalu, hentikan kriminalisasi warga yang membela ruang hidup dan hentikan impunitas terhadap korporasi perusak lingkungan. Terakhir, wujudkan reforma agraria, hentikan monopoli ruang oleh korporasi, dan kembalikan akses rakyat atas tanah, air, dan udara yang bersih. Kami juga mendesak kepala daerah di Sumatera Selatan untuk menjadikan keadilan ekologis dan krisis iklim, serta memastikan keadilan gender dalam setiap kebijakan yang diambil terkait dengan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam,” tegasnya.
“Jika lahan terus dikapling untuk tambang dan sawit, jika rawa dan hutan terus dimusnahkan, maka banjir, kebakaran, dan penderitaan rakyat Sumatera Selatan akan menjadi keniscayaan. Sudah saatnya berpihak pada bumi dan rakyat, bukan pada modal dan kehancuran,” tutup Febrian Putra Sopah, Kadiv Kampanye WALHI Sumsel.